ANGKASABOLA – Pagi buta 1 Mei 2025 nanti, dunia akan kembali menyaksikan pertempuran klasik: Barcelona menjamu Inter Milan di leg pertama semifinal Liga Champions. Mereka bertemu di Estadi Olimpic Lluis Companys, bukan Camp Nou yang sedang direnovasi, tapi atmosfer panas tetap dijamin.
Pertemuan ini membawa kita kembali lima belas tahun silam, saat dua klub raksasa ini saling berhadapan di babak yang sama. Waktu itu, Inter bukan hanya menghadang laju sang juara bertahan, tetapi juga menuliskan kisah keabadian bersama seorang pria bernama Jose Mourinho.
Yang dikenang bukan cuma hasil akhir, tapi juga bagaimana Inter bertahan dengan sepuluh pemain, melawan gelombang serangan Barcelona, dan akhirnya memupus impian Xavi, Lionel Messi, serta Josep Guardiola akan kejayaan dua musim beruntun.
Pada 20 April 2010, Giuseppe Meazza menjadi panggung bagi drama malam pertama yang mendebarkan. Inter tampil bukan sebagai favorit, tapi mereka menunjukkan bahwa sepak bola tidak selalu tentang penguasaan bola.
Barcelona membuka skor lewat Pedro, tapi Inter merespons dengan ketenangan yang luar biasa. Wesley Sneijder menyamakan kedudukan, lalu Maicon membalikkan skor, dan Diego Milito melengkapi keunggulan 3-1.
Di balik taktiknya, Mourinho menyusun puzzle pertahanan dan transisi yang begitu presisi. Dia menempatkan Sneijder sebagai penghubung, sementara Esteban Cambiasso dan Thiago Motta menjadi benteng di tengah.
Pemain seperti Lucio dan Walter Samuel tampil heroik di lini belakang, memblokir setiap peluang dari Messi, Dani Alves, hingga Zlatan Ibrahimovic. Bahkan ketika Victor Valdes dan Gerard Pique coba membawa perubahan, Inter tetap tenang dan efisien.
Giuseppe Meazza malam itu bukan sekadar stadion, tapi markas sebuah pasukan yang tak mengenal takut. “Indefatigables,” tulis laporan UEFA – para pejuang yang tak kenal lelah.
Neraka Camp Nou dan Tembok Bernama Julio Cesar

Leg kedua di Camp Nou, 28 April 2010, berubah menjadi panggung ujian mental dan fisik bagi Inter. Bahkan sebelum laga dimulai, mereka sudah kehilangan Goran Pandev di pemanasan.
Bencana berlanjut saat Thiago Motta diganjar kartu merah pada menit ke-28, setelah Busquets ‘jatuh’ dalam insiden yang dikenang sebagai salah satu momen teatrikal paling ikonik. Mourinho pun mengubah formasi menjadi benteng berjalan.
Barcelona mengurung Inter dengan sembilan hingga sepuluh pemain di kotak penalti. Namun, berkat kepemimpinan Samuel, refleks Julio Cesar, dan pengorbanan para pemain depan yang ikut bertahan, tembok itu tidak retak.
Pique mencetak gol di menit ke-84 dan memberi harapan singkat. Namun, Inter bertahan mati-matian hingga peluit akhir berbunyi, merayakan bukan hanya tiket ke final, melainkan juga sebuah pelampiasan emosional yang meledak di atas rumput basah Camp Nou.
Mourinho berlari, meninju udara, melewati hujan ejekan dan semprotan dari sprinkler lapangan. Dia tahu: malam itu, Inter sudah taklukkan gunung tertinggi.
Bernabeu, Mahkota, dan Air Mata Terakhir

Final digelar di Santiago Bernabeu, 22 Mei 2010. Inter menghadapi Bayern Munchen yang dilatih Louis van Gaal—tim yang juga membidik treble.
Namun, malam itu, Inter datang bukan untuk bermain cantik. Mereka datang untuk menang. Dan sekali lagi, mereka menang dengan cara Mourinho: bertahan rapat, serang balik mematikan.
Diego Milito mencetak dua gol yang kini hidup abadi dalam sejarah klub: satu setelah umpan satu-dua dengan Sneijder, satu lagi setelah mengecoh Van Buyten. Inter menutup malam dengan skor 2-0.
Milito berdiri sebagai pahlawan, tapi malam itu adalah simfoni dari seluruh pasukan. Dari kapten Javier Zanetti yang tak pernah lelah, hingga Sneijder yang bermain dengan otak dan hati.
Mourinho menolak selebrasi besar. Dia tahu ini adalah akhir. “Saya harus pergi sebelum saya mulai menangis,” katanya. Real Madrid menunggu, tapi hatinya malam itu tertinggal di Milan.
Legenda yang Tak Pernah Usang
Treble musim itu menjadikan Inter klub Italia pertama—dan satu-satunya hingga kini—yang meraih tiga gelar dalam satu musim: Serie A, Coppa Italia, dan Liga Champions. Mereka mengukir sejarah, dan sejarah itu ditulis oleh Mourinho.
Lima belas tahun berlalu, Inter dan Barcelona kembali berhadapan. Kali ini, tanpa Mourinho di pinggir lapangan, tanpa Sneijder, Milito, atau Zanetti di dalamnya.
Namun, setiap kali laga ini terjadi, kita tak bisa tidak mengingat malam-malam ajaib itu. Saat Inter bukan hanya membungkam Barcelona, tapi juga menantang takdir dan menang.
Kini, Estadi Olimpic akan menjadi panggung baru. Akan tetapi, bayangan Mourinho yang berlari di Camp Nou akan selalu hadir di sana, membisikkan bahwa keajaiban itu nyata adanya.